Perdagangan Karbon: Pengertian, Cara Kerja, dan Potensi Besarnya bagi Ekonomi Indonesia

Perdagangan Karbon: Pengertian, Cara Kerja, dan Potensi Besarnya bagi Ekonomi Indonesia

Isu perubahan iklim mendorong lahirnya solusi inovatif, salah satunya adalah perdagangan karbon (carbon trading). Mekanisme ini tidak hanya menjadi alat vital untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca secara global, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru. Bagi Indonesia, yang dikenal sebagai salah satu “paru-paru dunia”, potensi dari Nilai Ekonomi Karbon (NEK) sangatlah signifikan.

Apa Itu Perdagangan Karbon dan Kredit Karbon?

Secara sederhana, perdagangan karbon adalah mekanisme pasar yang dirancang untuk mengontrol polusi dengan memberikan insentif ekonomi. Inti dari sistem ini adalah jual beli kredit karbon (carbon credit).

  • Apa itu Kredit Karbon? Kredit ini adalah sertifikat atau izin yang merepresentasikan “hak” sebuah entitas (seperti perusahaan) untuk mengeluarkan sejumlah emisi.
  • Satuannya: Mengutip ICDX, satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi sebanyak 1 ton karbon dioksida (CO2).

Dengan mengubah emisi menjadi komoditas, sistem ini memaksa industri untuk memperhitungkan biaya lingkungan dari aktivitas mereka.

Memahami Cara Kerja Pasar Karbon

Mekanisme perdagangan karbon bekerja dengan menetapkan batas atas (dikenal sebagai cap) emisi yang boleh dikeluarkan oleh industri dalam periode tertentu.

  1. Jika Emisi di Bawah Batas: Perusahaan yang berhasil lebih efisien dan menghasilkan emisi lebih rendah dari batas yang ditentukan akan memiliki kelebihan kredit. Kelebihan kredit inilah yang dapat mereka jual di pasar karbon.
  2. Jika Emisi Melebihi Batas: Sebaliknya, perusahaan yang emisinya melebihi batas (misalnya karena proses produksi yang padat energi) wajib membeli kredit karbon dari perusahaan lain untuk menutupi kekurangan mereka, atau mereka akan dikenakan denda.

Sistem ini secara efektif memberi “hukuman” finansial bagi yang berpolusi tinggi dan “hadiah” bagi yang berhasil melakukan dekarbonisasi.

Dua Skema Utama dalam Perdagangan Karbon

Secara global, pasar karbon terbagi menjadi dua skema utama yang berbeda dalam pendekatannya:

1. Skema Perdagangan Emisi (ETS) atau ‘Cap-and-Trade’

  • Sifat: Skema ini bersifat wajib (mandatory).
  • Cara Kerja: Pemerintah menetapkan kuota (disebut allowance) di awal periode kepada setiap peserta. Jika perusahaan melebihi kuota, mereka harus membeli allowance tambahan dari peserta lain yang memiliki surplus.

2. Skema Kredit Karbon atau ‘Carbon Offset’

  • Sifat: Skema ini seringkali bersifat sukarela dan berbasis proyek.
  • Cara Kerja: Skema ini tidak membutuhkan kuota di awal. Komoditas yang diperdagangkan adalah sertifikasi penurunan emisi yang diperoleh setelah sebuah proyek hijau berhasil diimplementasikan (misalnya, proyek energi terbarukan atau reboisasi). Kredit ini (disebut carbon offset) kemudian dibeli oleh perusahaan lain untuk memenuhi target penurunan emisi mereka atau untuk mencapai status carbon neutral.

Sejarah dan Landasan Hukum: Dari Kyoto hingga Paris

Perdagangan karbon bukanlah ide baru. Gagasan ini lahir dari komitmen dunia untuk menangani pemanasan global, yang jejaknya dapat ditelusuri dari:

  • Konferensi PBB Stockholm (1972): Awal mula kesadaran lingkungan global.
  • KTT Bumi Rio de Janeiro (1992): Membentuk UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim).
  • Protokol Kyoto (1997): Meresmikan target pengurangan emisi yang mengikat bagi negara-negara industri dan memperkenalkan mekanisme perdagangan karbon.
  • Paris Agreement (2015): Sebuah tonggak sejarah di mana 195 negara sepakat menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celcius. Perjanjian ini mewajibkan setiap negara menyerahkan Nationally Determined Contributions (NDC) atau target pengurangan emisi nasional yang harus ditingkatkan seiring waktu.

Mengapa Perdagangan Karbon Penting untuk Indonesia?

Bagi Indonesia, perdagangan karbon memiliki dua peran strategis: sebagai alat regulasi dan peluang ekonomi.

Sebagai Alat Regulasi yang Efektif Dibandingkan pembatasan emisi langsung yang kaku, sistem cap-and-trade dinilai lebih efektif. Pemerintah dapat memantau jumlah emisi secara terukur sambil tetap memberikan fleksibilitas bagi industri untuk bertumbuh dan mencari cara paling efisien untuk mengurangi polusi.

Sebagai Peluang Ekonomi Baru (‘Emas Hijau’) Di sinilah letak potensi terbesar Indonesia. Sebagai negara dengan hutan hujan tropis yang luas, Indonesia diperkirakan dapat menyumbang 75-80 persen dari total kredit karbon dunia yang berasal dari sektor kehutanan dan alam.

Untuk memanfaatkan peluang ini, pemerintah telah menetapkan Perpres 110/2025 sebagai payung hukum utama dalam penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) nasional, yang akan mengatur bagaimana pasar ini berjalan di dalam negeri.