Pemerintah resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, pada 10 November 2025 bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan. Keputusan ini langsung memantik perdebatan luas di tengah masyarakat. Sebagian pihak menyambutnya sebagai bentuk pengakuan negara atas jasa Soeharto dalam menjaga stabilitas dan pembangunan nasional. Namun, sebagian lainnya mempertanyakan bagaimana seorang tokoh yang rezimnya ditandai pelanggaran HAM, pembungkaman kebebasan politik, serta korupsi sistemik dapat dinobatkan sebagai pahlawan.
Soeharto—yang dikenal sebagai the smiling general—tak dapat dipungkiri memainkan peran besar dalam sejarah Indonesia modern. Setelah 1965, ia dinilai berhasil memulihkan stabilitas politik serta mengakselerasi pembangunan ekonomi. Program Repelita, revolusi hijau, pembangunan Puskesmas, serta konsolidasi Indonesia di ASEAN menjadi warisan positif yang sering dikutip para pendukungnya. Banyak yang mengingat Orde Baru sebagai masa pembangunan yang tertib dan harga-harga stabil.
Namun, di balik pencapaian tersebut, terdapat sisi gelap kekuasaan Orde Baru. Pembatasan kebebasan politik, penghilangan aktivis, pelanggaran HAM di Timor Timur, serta berkembangnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi catatan kritis yang membuat sebagian masyarakat menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Polemik ini menunjukkan bahwa penilaian moral seringkali bertentangan dan bersifat relatif.
Dalam konteks ini, pemikiran filsuf Jerman Friedrich Nietzsche menjadi relevan. Dalam Beyond Good and Evil, Nietzsche menegaskan bahwa tidak ada fenomena moral, yang ada hanyalah interpretasi moral atas fenomena. Moralitas, menurutnya, adalah konstruksi sosial yang diciptakan kelompok tertentu untuk mempertahankan kekuasaan dan dominasinya. Dalam On the Genealogy of Morals, ia membedakan antara moralitas tuan (master morality)—yang memandang kekuatan dan keberanian sebagai kebaikan—dan moralitas budak (slave morality)—yang menilai kerendahan hati dan kepatuhan sebagai nilai moral.
Bagi Nietzsche, kategori “baik” dan “jahat” lahir dari pertarungan dan pembalikan nilai antar kelompok. Pro-kontra mengenai gelar pahlawan bagi Soeharto menunjukkan betapa moralitas bersifat lentur dan ditentukan oleh perspektif kekuasaan. Pendukung Soeharto mengutamakan keberhasilan pembangunan dan stabilitas sebagai ukuran kebaikan, meski dibarengi praktik represif. Sebaliknya, pihak yang menolak menilai Soeharto melalui sisi otoritariannya, pelanggaran HAM, dan praktik korupsi.
Dalam konteks ini, penerapan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dapat dibaca sebagai bentuk konstruksi moral yang ditetapkan oleh negara. Seperti kata Michel Foucault, “Power produces knowledge… and knowledge produces power.” Konsep “baik”, “teladan”, atau “pahlawan” bukanlah nilai universal, melainkan produk konstruksi sosial dan politik yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Apa yang dianggap baik pada satu masa bisa dipandang buruk pada masa yang lain, dan sebaliknya.
Nietzsche mengingatkan bahaya moralitas yang buta. Dalam Beyond Good and Evil ia menulis: “Barang siapa berjuang melawan monster, hendaklah ia berhati-hati agar tidak menjadi monster itu sendiri.” Pesan ini relevan bagi kedua kubu yang berselisih dalam polemik Soeharto. Para penolak gelar tidak perlu larut dalam amarah; para pendukung pun tidak layak memuja tanpa kritik dan melupakan luka sejarah yang ditinggalkan.
Dari perdebatan ini masyarakat dapat belajar bahwa seorang pahlawan bukanlah sosok tanpa cela, melainkan figur yang kisahnya mendorong bangsa untuk lebih bijak memahami moralitas, keteladanan, dan heroisme. Moralitas bangsa tidak diukur dari siapa yang dipuja atau dibenci, tetapi dari kejujuran masyarakat dalam membaca sejarahnya sendiri.
Jika masyarakat berani meneropong ke dalam hati dan menolak menjadikan moralitas sebagai alat kekuasaan, maka perdebatan tentang baik dan jahat tidak lagi ditentukan oleh rezim yang berkuasa, melainkan oleh integritas dan keadilan yang dijunjung bersama.
Dikutip dari kompas.com
